TAROMBO BATAK
Tarombo Batak ialah silsilah garis keturunan secara patrilineal dalam suku batak. Sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat suku bangsa Batak untuk
mengetahui silsilahnya agar mengetahui letak hubungan kekerabatan khususnya dalam falsafah Dalihan Natolu.
Raja Batak dan keturunannya
Tarombo si Raja Batak
(silsilah garis keturunan suku bangsa Batak) dimulai dari seorang individu
bernama Raja Batak.
Si Raja Batak berdiam di lereng Pusuk Buhit, Sianjur Mulamula, namanya. Sehingga
wilayah/lereng Pusuk Buhit dapat dikatakan sebagai daerah asal-muasal suku
bangsa Indonesia, Batak, yang kemudian menyebar ke berbagai pelosok, baik
Indonesia maupun dunia.
Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putera,
yaitu:
1. Guru Tatea Bulan (Naimarata)
2. Raja Isumbaon
Guru Tatea Bulan
mempunyai 5 (lima) orang putera, yaitu:
1. Raja Biakbiak (Raja Uti)
2. Saribu Raja
3. Limbong Mulana
4. Sagala Raja
5. Silau Raja
- Raja Biakbiak (Raja Uti)
Raja Biakbiak adalah
putera sulung Guru Tatea Bulan.
Raja Biakbiak atau juga disebut dengan Raja Uti tidaklah mempunyai keturunan.
Raja Biakbiak atau juga disebut dengan Raja Uti tidaklah mempunyai keturunan.
- Saribu Raja
Saribu Raja adalah putera
kedua Guru Tatea Bulan.
Saribu Raja mempunyai 2 (dua) orang putera yang
dilahirkan oleh 2 (dua) isteri. Isteri pertama Saribu Raja adalah Siboru Pareme
yang melahirkan Raja Lontung dan isteri kedua Saribu Raja adalah Nai Mangiring
Laut yang melahirkan Raja Borbor.
Raja Lontung
Raja Lontung mempunyai 7
(tujuh) orang putera, yaitu:
1. Sinaga, menurunkan marga Sinaga dan cabang-cabangnya
2. Situmorang, menurunkan marga Situmorang dan
cabang-cabangnya
3. Pandiangan, menurunkan Perhutala dan Raja Sonang dan
cabang-cabangnya
4. Nainggolan, menurunkan marga Nainggolan dan
cabang-cabangnya: Hutabalian, Lumbanraja, Lumbantungkup
5. Simatupang, menurunkan marga Togatorop, Sianturi dan
Siburian
6. Aritonang, menurunkan marga Ompu Sunggu, Rajagukguk,
dan Simaremare
7. Siregar, menurunkan marga Siregar dan cabang-cabangnya
Raja Borbor
Keturunan Raja Borbor
membentuk rumpun persatuan yang disebut dengan Borbor yang terdiri dari marga
Pasaribu, Batubara, Harahap, Parapat, Matondang, Sipahutar, Tarihoran,
Saruksuk, Lubis, Pulungan, Hutasuhut, Tanjung serta Daulay. Sementara, waktu
Nai Mangiring masih hidup, dia dan adik-ipar (adik-adik Sariburaja),
Limbongmulana, Sagala Raja dan Silau Raja membuat suatu ikatan perjanjian yang
disebut "padan" yang menyatakan bahwa "pomparan" mereka
semua, seterusnya disebut dengan "Borbor Marsada". Disini turunan dari
Boru Pareme tidak turut serta.
- Limbong Mulana
Keturunan Limbong Mulana
sebagai putera ketiga Guru Tatea Bulan, hingga kini tetap memakai marga
Limbong.
- Sagala Raja
Keturunan Sagala Raja
sebagai putera keempat Guru Tatea Bulan tetap memakai marga Sagala.
- Silau Raja
Silau Raja sebagai putera
bungsu Guru Tatea Bulan menurunkan marga Malau dan cabang-cabangnya.
Raja Isumbaon
Raja Isumbaon adalah
putera kedua/bungsu Raja Batak. Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putera,
yaitu:
1. Tuan Sorimangaraja
2. Raja Asiasi
3. Sangkar Somalidang
Khusus keturunan Raja
Asiasi dan Sangkar Somalidang hingga saat ini belum diketahui pasti siapa
keturunan mereka. Ada yang berpendapat, Sangkar Somalidang sekaligus Sangkar
Sobaoa. Pengertian "sangkar sobaoa" ialah sesungguhnya laki-laki
namun sifat-pembawaannya perempuan, atau banci. Sedang Raja Asiasi dikatakan
berkelana ("adventure") ke Aceh.
Tuan Sorimangaraja
Tuan Sorimangaraja
mempunyai 3 (tiga) orang putera, yaitu:
1. Ompu Tuan Nabolon, lahir dari isteri Sorimangaraja,
Nai Ambaton (nama kecil, Boru Paromas/Boru Antingantingsabungan)
2. Datu Pejel/ Tuan Sorbadijae, lahir dari isteri
Sorimangaraja, Nai Rasaon (nama kecil, Boru Bidinglaut)
3. Tuan Sorbadibanua, lahir dari isteri Sorimangaraja,
Nai Suanon/Nai Tungkaon (nama kecil, Boru Parsanggul Haomasan)
Naiambaton, kurang pas,
seharusnya atau aslinya adalah Nai Ambaton) dan Nairasaon seharusnya atau
aslinya Nai Rasaon, tidak didahului kata "Raja". Karena yang dimaksud
"raja" ialah pomparannya yang LAKI-LAKI. Kedua orang tersebut, Nai
Ambaton dan Nai Rasaon adalah Ibu. Maka seharusnya ada pertukaran letak suku
kata, bukan "pomparan raja naiambaton atau nairasan" tetapi
seharusnya adalah "raja pomparan ni nai ambaton" atau raja pomparan
ni nai rasaon" dan seterusnya. Kata "Nai" dalam bahasa Batak
asli adalah panggilan-kehormatan, semacam "gelar". Karena kata Nai
bagi seorang ibu dan kata "Amani" bagi seorang bapak menunjukkan
bahwa pasangan suami-isteri yang bersangkutan sudah berhasil naik setingkat
dalam status sosial bermasyarakat, dalam arti ibu dan bapak yang bersangkutan
sehari-hari dipanggil dengan nama anak pertama, lepas dari laki atau perempuan.
Namun kepada sang bapak, didepan nama anak-pertama tsb ditambahkan
"Amani", semisal anak pertama tsb ialah si Bunga, maka si bapak
dipanggil sehari-hari, "Amani Bunga". Sementara si ibu sehari-hari
dipanggil "Nai Bunga", karena anak-pertama dari perkawinan mereka
berdua diberi nama si Bunga. Semisal, sudah lahir anak pertama dan ternyata
laki-laki, namun belum diberi nama, maka secara otomatis bernama
"Ucok", sementara kalau yang lahir tersebut adalah perempuan,
otomatis bernama "Butet". Sepanjang anak pertama lahir tersebut belum
diberi nama, maka kedua orang, suami-isteri tersebut akan dipanggil Amani Ucuk/
Nai Ucok atau Amani/ Nai Butet. Di wilayah/daerah p. Samosir hal ini dianggap
sangat elementer, namun sangat penting dalam etika berbicara, berkomunikasi dan
pergaulan-bermasyarakat sehari-hari. Orang yang memanggil orang lain dengan
panggilan "gelar", merasa menghormati orang yang bersangkutan dan orang
yang dipanggil akan merasa dihormati. Kalau sepasang suami-isteri masih dalam
penantian anak dari perkawinan, maka ada dua opsi. Pertama, diberi nama yang
agak abstrak, misalnya Amani/ Nai Paima. Paima, secara harfiah=
"menanti". Opsi kedua, mengambil-pinjam nama anak kedua atau ketiga
atau keempat dari abang-kandung sang suami, yang belum dipergunakan oleh orang
lain dalam kerluarga dekat. Bagi kita yang sudah hidup dikota, kita dipanggil
dengan nama kecil kita, tidak masalah. Lain halnya dengan masyarakat kampung
yang masih terikat dengan nilai dan tradisi lama secara turun-temurun.
Masyarakat di kampung akan merasa plong, bebas, nyaman dan tidak terbebani,
bila memanggil seseorang dengan gelar. Contoh di atas, Amani Bunga untuk sang
bapak dan Nai Bunga untuk sang ibu.
Demikian halnya atas dua nama yang diberi koment
di atas. Nai Ambaton ("panggoaran"), nama kecil ialah si Boru
Anting-anting Sabungan/Boru Paromas (puteri Guru Tatea Bulan, "mar
pariban"/"sisters" dengan si Boru Pareme). Si Boru Paromas
adalah isteri pertama dari Tuan Sorimangaraja (anak dari Raja Isumbaon). Anak
yg dilahirkan si Boru Paromas/Nai Ambaton, satu, bernama Ompu Tuan Nabolon;
namun ada juga penulis yang menyebut namanya Ompu Sorbadijulu. Anak-anak O Tuan
Nabolon inilah si Bolontua (Simbolon - seluruhnya), Tambatua - melahirkan
banyak marga-marga, Saragitua - melahirkan banyak marga-marga, dan Muntetua -
yang juga melahirkan banyak marga-marga. Estimasi terkini menjadi 70-an marga
yang disebut dengan PARNA (Parsadaan Nai Ambaton) "na boloni".
Isteri kedua Tuan Sorimangaraja ialah si Boru
Bidinglaut, yang kemudian "mar-panggoaran" Nai Rasaon. Melahirkan
satu anak, bernama Datu Pejel; namun ada penulis menyebut namanya Ompu Tuan
Sorbadijae. Anak-anaknya ada dua, yang lahir sekaligus dalam satu
"lambutan" bernama Raja Mangarerak dan Raja Mangatur. Pomparan Raja
Mangarerak ialah seluruhnya marga Manurung; sementara pomparan Raja Mangatur,
ialah seluruhnya marga-marga Sitorus, Sirait dan Butarbutar. Panjang
cerita/"turiturian" dibalik penyebutan 4 marga tersebut.
Isteri ketiga Tuan Sorimangaraja ialah Nai
Suanon/ Nai Tungkaon, nama kecilnya ialah Boru Parsanggul Haomasan. Dalam
tarombo pomparan Guru Tateabulan, diberbagai literatur nama ini tidak tertulis.
Ibu ini melahirkan satu anak, bernama Tuan Sorbadibanua. Dari Tuan Sorbadibanua
lahir 8 anak laki-laki, no 1 si Bagotnipohan, turunannya termasuk
"Hula-hula anak manjae" SBY, keluarga Aulia Pohan. Satu lagi di
antara 8 itu ada Silahi Sabungan, termasuk Letjend (Prn) TB Silalahi, anggota
Watimpres SBY. Satu lagi di antara 8 itu ialah Raja Sobu, asal dari marga-marga
Sitompul, si Raja Hasibuan kemudian (disamping masih tetap ada Hasibuan)
menurunkan marga-marga Hutabarat(si Raja Nabarat), Panggabean (bercabang lagi
dgn Simorangkir), Hutagalung, Huta Toruan (bercabang dua yaitu marga-marga
Hutapea-Tarutung/Silindung & Lumbantobing). Catatan: ada juga Hutapea di
Laguboti, tapi punya tarombo tersendiri.
Khusus tentang turunan Ompu Tuan Nabolon,
menurut kebanyakan literatur adalah: No 1, si Bolontua (sampai sekarang masih
satu) yg disebut Simbolon, no 2, Tambatua (1 Tonggor Dolok/Rumabolon, 2 Lumban
Tongatonga, 3 Lumbantoruan), no 3, Saragitua, no 4, Muntetua. Mereka berempat,
si Bolontua, Tambatua, Saragitua dan Muntetua dilahirkan oleh 2 Ibu: pertama, boru
Pasaribu, kedua boru Malau (Silau Raja). Penyebutan nama anak-anaknya tsb oleh
Ompu Tuan Nabolon pun, konon, tidak asal-asalan tapi harus bijaksana
("wise"), seperti cerita Raja Salomo yang bijak, karena dilahirkan
oleh 2 orang isteri. Ada isteri pertama dan ada isteri kedua. Istilah kerennya,
poligami. Sebagai perbandingan, ingatlah Abraham. Anak-anaknya antara Ismael
dgn Ishak. Yg lahir duluan, Ismael, namun lahir dari pembantu, Hagar. Maka
Ishak yang lahir dari sang "permaisuri", yaitu Sarah, itulah yg
diberkati oleh Abraham dan Yahwe yang disembah oleh Abraham. Sekedar
perbandingan saja lah.-->
Raja Nai Ambaton
Keturunan Raja Naiambaton
dikenal sebagai keturunan yang terdiri dari berpuluh-puluh marga yang tidak
boleh saling kawin (ndang boi masiolian). Kumpulan persatuan rumpun keturunan
Raja Naiambaton disebut dengan PARNA (Parsadaan
Raja Nai Ambaton). Catatan: huruf R dalam kata PARNA bukan representasi 'raja',
tapi PAR=Parsadaan ("persatuan"), NA=Nai Ambaton.
Marga-marga keturunan Raja Naiambaton (Datu
Sindar Mataniari) , antara lain: Raja Sitempang dan Bolon Tua. Dan
cabang-cabangnya: Dari Istri Siboru Biding laut III Pomparan Raja Sitempang
1. Raja Sitempang ( Sitanggang Bau, Sitanggang Lipan,
Sitanggang Upar, Sitanggang Silo, Sigalingging, Sitanggang Gusar dari
Sitanggang Bau, Sidauruk, Manihuruk dari Sitanggang Silo, Sigalingging Ke Dairi
(Banuarea, Manik, Gaja, Tendang, Rampu, Kecupak, Kombi,Boang Manalu, Barasa,
Turutan, Siambataon), Simanihuruk ke Tanah Karo (Ginting Manik)
Dari IStri SIboru Anting
Anting Pomparan Raja Nabolon
1. Simbolon Tua (Simbolon, Tinambunan, Tumanggor,
Turutan, Pinayungan, Maharaja, Nahampun)
2. Tamba Tua: Tonggor Dolok, Lumbang Tongatonga, Lumban
Toruan. Lumban Tongatonga beranak dua: Rumaganjang dan Lumbanuruk. Rumaganjang
beranak 3: Guru Sateabulan, Guru Sinanti dan Datu Parngongo. Datu Parngongo
beranak 7, satu di antaranya bernama Guru Sojoloan (Guru Sotindion). Dari Guru
Sojoloan/Guru Sotindion inilah Sidabutar, Sijabat, Siadari, Sidabalok yang
biasa disebut "pomparan ni si opat ama".
3. Munte Tua (Munte)
4. Saragi Tua (Saing, Simalango, Simarmata, Nadeak,
Sidabungke, Rumahorbo, Sitio, Napitu). Tiga marga dintaranya, yang konon
turunan dari satu leluhur, yaitu RumahOrbo, NApitu dan SiTIO, akronim (RoNaTio ).
Nai Rasaon
Nai Rasaon adalah
kelompok marga-marga dari suku bangsa Batak Toba yang berasal dari daerah
Sibisa. Marga-marga keturunan Nai Rasaon, adalah: Manurung, Sitorus (menurunkan
Pane, Dori, Boltok), Sirait, Butarbutar. MANURUNG menurunkan HUTAGURGUR
HUTAGAOL dan SIMANORONI.
Si Raja Batak adalah S-1, Raja Isumbaon -
setaraf dengan Guru Tatea Bulan adalah S-2, maka Tuan Sorimangaraja (anak Raja
Isumbaon) adalah S-3. Dari Ibu, Nai Rasaon {nama kecil: si Boru Bidinglaut,
Isteri II Tuan Sorimangaraja (S-3)/Anak no. 2 Ompu Raja Isumbaon (S-2)} beranak
satu, yaitu Datu Pejel/Ompu Tuan Sorbadijae. (S=Sundut/generasi). Datu Pejel,
dua anaknya sekali lahir (kembar-dua), namun tidak sebagaimana umumnya lahir
kembar secara satu per satu, melainkan lahir kembar-dua didalam satu
"lambutan". Yang dimaksud lambutan, barangkali adalah jaringan
selaput yang membungkus bayi ketika didalam kandungan. Pada waktunya yang tepat
dikemudian hari diberi nama: Raja Mangarerak dan Raja Mangatur si
"Dua-sahali tubu". Pomparan Raja Toga Manurung berkembang dari Raja
Mangarerak; Sementara pomparan Raja Toga Sitorus, Raja Toga Sirait dan Raja
Toga Butarbutar berkembang dari Raja Mangatur. Meski empat marga ini
sesungguhnya berasal dari satu Ompu, Datu Pejel, namun umumnya, berawal dari
wilayah Porsea ke-empat marga ini sudah saling kawin-mawin. Maka prinsip satu
keluarga besar "na so boi mar-si-oli-an" telah ditinggalkan. Proses
ini diperkirakan sudah dimulai sejak 5 - 6 generasi sebelum generasi yang
sekarang, atau kira-kira 200 tahun yl. Sedang diwilayah asal/asli Sibisa dan
Ajibata perasaan bersaudara itu masih kental. Namun khususnya diwilayah
Ajibata, antara Sirait dan Manurung, pada generasi yang sekarang, telah ada
yang memulai kawin-mawin. Sementara antara Sirait terhadap Sitorus dan Butarbutar
belum ada yang memulai. Tetapi didaerah perantauan, misalnya di p. Jawa telah
ada yang merintis. aaa
Tuan Sorbadibanua
Tuan Sorbadibanua
mempunyai 8 (delapan) putera, yaitu:
1. Sibagotnipohan
2. Sipaettua(Pangulu Ponggok, Partano Nai Borgin,Puraja
Laguboti(Pangaribuan,Hutapea)
3. Raja Silahisabungan
4. Raja Oloan
5. Raja Hutalima
6. Raja Sumba
7. Raja Sobu
8. Raja Naipospos
Sibagotnipohan Sibagotnipohan sebagai cikal-bakal marga Pohan mempunyai 4 (empat) putera,
yaitu:
1. Tuan Sihubil, sebagai cikal-bakal marga Tampubolon dan
cabang-cabangnya
2. Tuan Somanimbil, sebagai cikal-bakal marga Siahaan,
Simanjuntak, dan Hutagaol
3. Tuan Dibangarna, sebagai cikal-bakal marga Panjaitan,
Silitonga, Siagian, Sianipar, dan cabang-cabangnya
4. Sonak Malela, menurunkan marga Simangunsong, Marpaung,
Napitupulu, dan Pardede
Sipaettua Marga-marga keturunan Sipaettua, antara lain: Hutahaean, Hutajulu, Aruan, Sibarani, Sibuea, Pangaribuan, dan Hutapea
Silahisabungan Sembilan Anak Keturunan Silahisabungan
dari 3 istri yakni :
Istri Pertama,Si Pinta Haomasan Boru Raja
Ambaton, anaknya : 1. Lahi Raja (Silalahi)
Isteri kedua Si Pinggan Matio Boru Padang
Batanghari, anaknya : 2. Loho Raja (Sihaloho) 3. Tungkir Raja (Situngkir)
4. Sondi Raja (Rumasondi) 5. Butar Raja (Sinabutar) 6. Debang Raja (Sidebang)
7. Bariba Raja (Sinabariba) 8. Batu Raja (Pintu Batu)
Istri Ketiga,Similingiling boruni Raja
Mangarerak , anaknya : 9. Si Raja Tambun (Tambun/Tambunan)
Selain marga pokok di atas masih ada lagi marga
marga cabang keturunan Silahisabungan, yakni : Sipangkar, Sembiring,
Sipayung, Dolok Saribu, Sinurat, Nadadap, Naiborhu, Ambuyak, Sigiro, Daulay.
Raja Oloan Raja Oloan mempunyai 6 (enam) orang
putera, yaitu:
1. Naibaho, yang merupakan cikal-bakal marga Naibaho dan
cabang-cabangnya
2. Sigodang Ulu, yang merupakan cikal-bakal marga
Sihotang dan cabang-cabangnya
3. Bakara, yang merupakan cikal-bakal marga Bakara
4. Sinambela, yang merupakan cikal-bakal marga Sinambela
5. Sihite, yang merupakan cikal-bakl marga Sihite
6. Manullang, yang merupakan cikal-bakal marga Manullang
Raja Hutalima Raja Hutalima tidak mempunyai keturunan
Raja Sumba Raja Sumba mempunyai 2 (dua) orang
putera, yaitu:
1. Simamora, yang merupakan cikal-bakal marga Purba,
Manalu, Simamora Debata Raja, dan Rambe
2. Sihombing, yang merupakan cikal-akal marga Silaban,
Sihombing Lumban Toruan, Nababan, dan Hutasoit
SILABAN(BORSAK JUNJUNGAN) 1.SILABAN (BORSAK JUNGJUNGAN) 2.OP. RATUS 3.AMA RATUS 4.OP.RAJADIOMAOMA
5.a. DATU BIRA (SITIO); b. DATU MANGAMBE/MANGAMBIT (SIPONJOT) c. DATU GULUAN
Raja Sobu Marga-marga keturunan Raja Sobu,
antara lain: Sitompul dan si Raja Hasibuan. Dari si Raja Hasibuan berkembang
lagi, yang tetap tinggal di Toba tetap Hasibuan, sedang "pomparan"
Ompu Guru Mangaloksa yang merintis hidupnya ke wilayah Silindung, anak-anaknya berkembang
menjadi si Raja Nabarat (Hutabarat), si Raja Panggabean
(cabangnya,Simorangkir), si Raja Hutagalung dan si Raja Hutatoruan. Si Raja
Hutatoruan dua anaknya, itulah Hutapea (Silindung/Tarutung, beda dari Hutapea -
Toba/Laguboti), dan Lumbantobing (biasa disingkat L. Tobing=Lumbantobing).
Marga-marga tsb (diluar marga Hasibuan), secara "specific" pomparan
Guru Mangaloksa dinamai "Pomparan ni si Opat Pu(i)soran". Mana ejaan
yang benar dalam bahasa Batak, antara Pusoran atau Pisoran, entahlah. Marga-marga
tersebut di atas masih tetap alias belum bercabang hingga sekarang. Kecuali
pencabangan untuk tujuan penyebutan internal, semisal Hutabarat. Ada Hutabarat
Sosunggulon, Hutabarat Hapoltahan, Hutabarat Pohan. Dari tataran ini barulah
dibagi lagi menjadi "mar-ompu-ompu". Sebagai catatan, khusus dari
pomparan Guru Mangaloksa, setiap anggota marga-marga tersebut mengingat
nomornya masing-masing, termasuk Boru. Semisal di Hutabarat, berkenalan seorang
Hutabarat dengan seorang lain Hutabarat. Tidak lagi ditanya, Hutabarat
Sosunggulon? atau Hapoltahan? atau Pohan? dst. Tetapi langsung ditanya,
"nomor berapa"?, termasuk Boru. Sehingga masing-masing tahu
"standing position", memanggil abang/adik, bapatua/bapauda, dst,
termasuk "tutur" untuk Boru. Hal seperti ini perlu dicontoh karena
dapat memotivasi orang lain mencari asal-usul ("identitas")
"ha-batahonna", tentu setelah indentitas keyakinan dan kepercayaan
masing-masing individu.
Raja Naipospos Raja Naipospos mempunyai 5 (lima)
orang putera yang secara berurutan, yaitu:
5. Marbun, yang merupakan cikal-bakal marga Marbun Lumban Batu, Marbun
Banjar Nahor, Marbun Lumban Gaol
Padan atau janji
antar marga
Dalam suku bangsa Batak,
selain marga yang satu nenek moyang (satu marga) ditabukan untuk saling kawin,
dikenal juga padan (janji atau ikrar) antar marga yang berbeda untuk tidak
saling kawin. Marga-marga tersebut sebenarnya bukanlah satu nenek moyang lagi
dalam rumpun persatuan atau pun paradaton, tetapi marga-marga tersebut telah
diikat padan (janji atau ikrar) agar keturunan mereka tidak saling kawin oleh
para nenek moyang pada zaman dahulu. Antar marga yang diikat padan itu disebut
dongan padan.
Marga-marga yang mempunyai padan khusus untuk
tidak saling kawin, anatara lain:
1. Sihotang dengan Naipospos (Marbun)
2. Naibaho dengan Sihombing Lumban Toruan
3. Nainggolan dengan Siregar
4. Tampubolon dengan Silalahi
5. dan lain sebagainya
Sihotang dengan Naipospos (Marbun)
Seluruh keturunan Raja
Naipospos diikat janji (padan) untuk tidak saling kawin dengan keturunan Raja
Oloan yang bermarga Sihotang. Sehingga Sihotang disebut sebagai dongan padan.
Memang pada awalnya pembentuk janji ini adalah Marbun. Namun ditarik suatu
kesepakatan bersama bahwa keturunan Raja Naipospos bersaudara (na
marhahamaranggi) dengan keturunan Sihotang. Hal ini dapat dilihat bersama bahwa
hingga saat ini seluruh marga NAIPOSPOS SILIMA SAAMA (Sibagariang-Hutauruk-Simanungkalit-Situmeang-Marbun) tidak ada yang kawin
dengan marga Sihotang. Pengalaman di lapangan bahwa memang ada-ada saja orang yang mempersoalkan
padan ini. Mereka mengatakan bahwa hanya Marbun sajalah yang marpadan dengan
Sihotang tanpa mengikutsertakan Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan
Situmeang. Perlu diketahui bersama bahwa telah ada ikrar (padan) para nenek
moyang (ompu) bahwa padan ni hahana, padan ni angina; jala padan ni angina,
padan ni hahana (ikrar kakanda juga ikrar adinda dan ikrar adinda juga ikrar
kakanda). Benar Marbunlah pembentuk padan pertama terhadap Sihotang. Tetapi
oleh karena Marbun sebagai anggi doli Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan
Situmeang, maka turut juga serta dalam padan dengan Sihotang. Contoh lain dapat
pula dilihat bersama bahwa sesungguhnya Sibagariang tidaklah ada ikrar (padan)
sama sekali untuk tidak saling kawin (masiolian) dengan Marbun. Tetapi oleh
karena Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang marpadan dengan Marbun untuk
tidak saling kawin maka Sibagariang pun turut serta dengan sendirinya oleh
karena ikrar (padan) para nenek moyang (ompu) yang telah disebutkan di atas.
Sehingga suatu padan yang umum bahwa keturunan Raja Naipospos dari isteri I
(Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang) tidak boleh saling kawin
dengan keturunan Raja Naipospos dari isteri II (Marbun).
Demikian pula halnya seluruh marga-marga
keturunan Raja Naipospos (Sibagariang,
Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor,
dan Marbun Lumban Gaol) tidak boleh saling kawin dengan keturunan Sihotang.
Mohon masukan dari teman sekalian untuk kesempurnaan tulisan ini.
Sumber dan rujukan
- Haran Sibagariang (Gelar: Ompu Basar Solonggaron), mantan Kepala Negeri Huta Raja
sebagai sumber tertulis dalam buku sederhana susunannya sendiri tentang
Raja Naipospos dan Keturunannya.
- Laris Kaladius Sibagariang, seorang
yang dituakan dan kepala adat di Huta Raja, Sipoholon sebagai sumber
lisan.
- W. M. Hutagalung, sebagai
sumber pembanding dalam bukunya yang bejudul PUSTAHA
BATAK Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak.
- D. J. Gultom Raja Marpodang, sebagai
sumber pembanding dalam bukunya yang berjudul Dalihan
Natolu Nilai Budaya Suku Batak tentang marga keturunan Raja Batak
- http://badutzsite.blogspot.com/2012/06/tarombo-batak.html#.U_HI1NKSx1E
horas
ReplyDelete